Ihshan Gumilar, PhD
Desember 2025, langit Sumatra dan Aceh tak henti menangis. Di bawah guyuran hujan yang tak kunjung reda, ribuan saudara kita tidak sedang bertarung melawan air, melainkan bertarung melawan rasa lapar dan dingin yang menusuk tulang. Lebih dari seribu nyawa telah melayang, menjadi statistik bisu di layar berita. Namun, ada pemandangan yang lebih menyayat hati daripada puing rumah yang hanyut: berkibarnya Bendera Putih.
Kain-kain putih itu diikat di tiang-tiang rumah yang nyaris tenggelam. Itu bukan tanda menyerah kepada musuh di medan perang. Itu adalah sinyal Dharurah. Itu adalah jeritan sunyi seorang ayah yang kehabisan susu untuk bayinya, seorang ibu yang menatap nanar panci kosong di dapur. Mereka menyerah pada lapar karena bantuan tak kunjung tiba.
Ironisnya, saat rakyat mengibarkan bendera putih tanda butuh pertolongan, negara justru menutup pintu rapat-rapat bagi bantuan internasional. Alasannya terdengar gagah namun rapuh: "Kemandirian Bangsa".
Dalam psikologi kepemimpinan, fenomena ini dikenal sebagai "The Dignity Trap" atau Jebakan Harga Diri. Otak seorang pemimpin yang terperangkap dalam jebakan ini sedang mengalami pembajakan emosi. Amygdala-nya (pusat rasa takut) berteriak bahwa "menerima bantuan asing" adalah sebuah "penghinaan" atau tanda kelemahan.
Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang primitif. Mereka melakukan apa yang disebut "Reputation Signaling" (Sinyal Reputasi). Demi terlihat kuat dan berdaulat di mata dunia, mereka rela mengabaikan fakta di lapangan. Padahal, secara kognitif, ini adalah cacat logika fatal. Ketika negara membiarkan rakyatnya mati demi menjaga "citra kuat", negara sedang melakukan Institutional Betrayal (Pengkhianatan Institusi). Negara yang seharusnya menjadi pelindung, berubah menjadi penjaga gengsi semata.
Apakah ini sikap yang heroik? Tidak. Ini adalah gangguan nalar.
Dalam Islam, sikap "gengsi" yang memakan korban jiwa ini punya nama lain yang mengerikan: Al-Kibr (Kesombongan).
Al-Quran dengan sangat presisi memotret psikologi pejabat yang anti-kritik dan gila hormat ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 206:
"Dan apabila dikatakan kepadanya: 'Bertakwalah kepada Allah', bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa..."
Perhatikan frasa "bangkitlah kesombongannya". Dalam bahasa aslinya disebut Al-'Izzah (Harga Diri/Kehormatan). Ketika harga diri dijadikan alasan untuk membenarkan dosa (pembiaran nyawa manusia), maka saat itulah seorang pemimpin jatuh ke titik nadir moralitas.
Rasulullah ﷺ, manusia dengan akhlak sempurna dan hati paling mulia, mengajarkan kita logika yang berbeda: Pragmatisme demi Kemanusiaan.
Ingatlah peristiwa Hijrah. Saat nyawa beliau terancam, Rasulullah ﷺ tidak gengsi menyewa Abdullah ibn Urayqit sebagai penunjuk jalan. Siapa Abdullah? Dia seorang Musyrik, seorang kafir Quraisy. Apakah Rasulullah takut dianggap "lemah" karena minta tolong pada orang kafir? Tidak.
Beliau menggunakan akal sehat (Prefrontal Cortex) yang jernih. Fokus utamanya adalah Hifz al-Nafs (Menjaga Nyawa/Keselamatan). Jika Nabi saja mau menerima bantuan "pihak luar" demi keselamatan umat, lantas siapa kita? Siapa para pejabat itu yang merasa lebih suci dan lebih hebat dari Nabi, hingga menolak tangan yang terulur saat rakyatnya sekarat?
Rasulullah bersabda: "Kullukum Ra'in..." (Setiap kalian adalah penggembala - sering juga diartikan pemimpin).
Seorang penggembala sejati tidak akan membiarkan dombanya mati kelaparan hanya karena ia gengsi menerima rumput dari tetangga sebelah. Jika ia membiarkannya, ia bukan pemimpin, ia adalah pembunuh berdarah dingin.
Saudara-saudaraku di belahan dunia manapun, terlebih rakyat Indonesia yang tersebar di setiap penjuru dunia !
Bendera putih di Sumatra adalah cermin bagi kita. Ia berkibar di atas air bah, sementara para pengambil kebijakan sibuk mematut diri di depan cermin, sibuk menyiapkan juru foto untuk mengabadikan diri ketika mengangkat beras demi sebuah citra diri, memastikan "mahkota" kedaulatan mereka tidak miring, meski rakyat di bawah kakinya sedang tenggelam.
Malam ini, mari kita kirimkan doa dan bantuan.
Jangan seperti cangkir yang penuh, yang menolak dituangi air. Jadilah pemimpin bagi diri sendiri yang tahu kapan harus menundukkan ego demi menyelamatkan sesama.
Karena di hadapan nyawa manusia, gengsi adalah mata uang yang tidak laku.
Tragedi bendera putih di Sumatra adalah ujian bagi kita, diaspora yang terpisah jarak ribuan mil. Secara neuropsikologi, jarak geografis sering menciptakan celah empati, namun kemanusiaan tidak mengenal batas zona waktu.
Ketika pintu bantuan formal tertutup oleh ego kekuasaan, jalur kemanusiaan dari akar rumput harus tetap mengalir. Kita adalah satu tubuh. Jika Sumatra terluka, sudah sepatutnya kita di seluruh penjuru dunia ikut merasakan pedihnya. Jangan biarkan kain putih itu hanya menjadi saksi bisu kegagalan sistem, melainkan jadikan pengingat bahwa kedaulatan kemanusiaan berada di atas segala sekat kedaulatan negara.
Pada akhirnya, kita akan dimintai pertanggung jawaban bukan atas citra yang kita jaga, melainkan atas tangan yang kita ulurkan, saat sesama kita mengirimkan sinyal darurat kepada dunia.
Wallahu a'lam bil Muradif
Auckland, 21 Desember 2025
00.21